ANALISIS SOSIAL
ANALISIS
SOSIAL
Disekitar kita
banyak sekali fenomena dan problem-problem sosial, seringkali ketika berhadapan
dengan berbagai masalah sosial kita sulit untuk mengurai latar belakang
masalah, pengaruh kepentingan serta implikasi logis yang mungkin muncul.
Kesulitan memahami kaitan masalah sosial disebabkan karena keterbatasan kemampuan
dalam memetakan variable yang saling mempengaruhi. Untuk itu, diperlukan
kecerdasan dalam melakukan analisis sosial agar mampu membaca dan memahami
realitas sosial secara utuh.
Organisasi mahasiswa, adalah bagian dari kehidupan sosial, senantiasa bersinggungan dengan realitas sosial, atau salah dalam memahaminya, maka perubahan sosial yang dilakukan tidak akan efektif, bahkan jauh dari sasaran.
1)
Pengertian Ansos
Analisis
sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial
secara objektif. Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap
mengenai situasi sosial dengan menelaah kaitan-kaitan histories, structural dan
konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial,
mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi,
budaya dan agama. Sehingga akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial,
bagaimana institusi sosial yang menyebabkan masalah-masalah sosial, dan juga
dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial. Secara Definisi ANSOS adalah
merupakan upaya kita untuk menempatkan suatu masalah tertentu dalam konteks
realitas sosial yang lebih luas yang mencakup konsep waktu (sejarah), konteks
struktur (ekonomi, sosial, politik, budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat
atau aras lokasi (spatial: lokal-global).
2)
Ruang lingkup ansos
Pada dasarnya
semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi
sosial, maka paling tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target
perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai dengan visi atau misi
organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain;
• Masalah-masalah sosial, seperti;
kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas
• Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
• Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
• Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
• Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
• Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
• Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
3)
Pentingnya teori social
Teori dan
fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta
sosial, sementara fakta sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori
sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat, untuk memberikan
konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan
dalam realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The
Multicultural And Classic Readings menyatakan bahwa teori sosial memang
merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.
Teori sosial
merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada
positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam
analisis sosial, pertama, analisis intitusional, yaitu ansos yang menekan pada
keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan institusi sebagai sumber
daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku
strategis, adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu
yang diproduksi secara sosial.
A.
Kerangka Anaisis Antoni Giddens INTERAKSI Komunikasi
Kekuasaan Sanksi/Norma MODALITAS Kerangka Penafsiran Fasilitas Ideologi, politik,budaya,
sosial Norma agama, hukum, nilai, aturan, tradisi
STRUKTUR Pemaknaan Dominasi Legitimasi
STRUKTUR Pemaknaan Dominasi Legitimasi
B.
Paradigma
Teori-teori Sosial
4)
Hubungan Kesadaran dengan ANSOS
ASPEK KESADARAN MAGIS KESADARAN NAIF KESADARAN
KRITIS
KERANGKA BERPIKIR kehidupan sosial hasil kekuatan di luar manusia kehidupan sosial hasil kualitas manusia dan sda. kehidupan sosial hasil system, struktuk, historis.
KERANGKA BERPIKIR kehidupan sosial hasil kekuatan di luar manusia kehidupan sosial hasil kualitas manusia dan sda. kehidupan sosial hasil system, struktuk, historis.
METHODE TERAPAN SOSIAL bantuan / karitatif
Pembangunan
advokasi pemberdayaan /transformative GERAKAN SOSIAL evolutipf/ natural” / “netral” konstruktif radikal dan cepat
advokasi pemberdayaan /transformative GERAKAN SOSIAL evolutipf/ natural” / “netral” konstruktif radikal dan cepat
5)
Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap
antara lain:
Ø Memilih dan
menentukan objek analisis
Pemilihan
sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti
realitas yang dianalsis merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan
sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Ø Pengumpulan
data atau informasi penunjang
Untuk dapat
menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi
penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan
observasi maupun investigasi langsung dilapangan. Re-cek data atau informasi
mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Ø Identifikasi
dan analisis masalah
Merupaka tahap
menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa
variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama
dilakukan pada tahap ini. Melalui analisis secara komphrehensif diharapkan
dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling keterkaitan antara aspek.
Ø Mengembangkan
presepsi
Setelah di
identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah,
selanjutnya dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang
objektif. pada tahap ini akan muncul beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi
dari objek masalah, serta pengembangan beberapa alternative sebagai kerangka
tindak lanjut.
Ø Menarik
kesimpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan
tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang diuntungkan
dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta
paradigma tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
6)
Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat,
paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka
dan mampu membaca realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat
aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif). Transformasi sosial yang
dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran
kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila
dilandasi dengan cara pandangan luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat
melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan kemampuan
analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma
kritis transformatif akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang
dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).
REKAYASA
SOSIAL:
A.
Antaran Mulanya biasa saja. Sebuah
masyarakat di daerah terpencil pinggiran hutan di
Kalimantan adalah komunitas adat yang setia
terhadap warisan tradisi leluhur. Pemahaman mereka atas hutan, pohon dan tanah
masih bersifat sakral dan berdimensikan transendental. Tapi sejak upaya
modernisasi dari negara melalui proyek pembangunan dengan program transmigrasi,
pengembangan kawasan desa hutan, pariwisata, dan apapun namanya, daerah
tersebut mulai terbuka bagi masuknya arus masyarakat dari luar komunitas adat,
tak terkecuali masuknya Media Televisi melalui antena parabola.
Keterbukaan masyarakat adat tersebut mulai
terlihat dengan persentuhan dengan masyarakat luar yang juga membawa serta
bentuk-bentuk kebudayaan; dari cara berpikir hingga perilaku. Tidak itu saja,
masuknya televisi telah mampu merubah berbagai sistem nilai dan sistem makna
yang terdapat dalam masyarakat terbut. Sebelum ada modernisasi (dan televisi)
masyarakat tersebut memiliki kearifan lokal untuk selalu bersosialisasi,
berinteraksi sosial, dan sebagainya. Ketika televisi baru memasuki desa dan
jumlahnya belum seberapa, alat tersebut justru menjadi sarana yang memperkuat
kebersamaan, karena tetangga yang belum mempunyai televisi boleh menumpang
menonton. Namun ketika televisi semakin banyak dan hampir tiap keluarga
memilikinya, maka kebersamaan itu segera berkahir, karena masing-masing
keluarga melewatkan acara malam mereka di depan pesawatnya. Tanpa disadari
media telivisi telah merubah segalanya dalam struktur maupun kultur masyarakat
tersebut. Peristiwa itu meminjam istilah Ignas Kleden menunjukkan bahwa
nilai-nilai (kebersamaan atau individualisme) dan tingkah laku (berkumpul atau
bersendiri), secara langsung dipengaruhi oleh hadirnya sebuah benda materiil.
Parahnya, pola kehidupan yang menghargai kebersamaan beralih menjadi
individualis, sifat gotong royong tergantikan sifat pragmatisme dalam memaknai
segala bentuk kebersamaan dan kerja. Taruhlah misalnya ketika memaknai tanah
warisan. Jika dulu bermakna teologis, sekarang lebih dimaknai bersifat ekonomis
belaka. Tidak jarang jika dulu masyarakat mati-matian membela tanah warisnya,
sekarang tergantikan kepentingan ekonomis untuk dijual kepada pengusaha dari
kota. Tak pelak lagi, hotel-hotel, villa-villa, cafe-cafe dan apapun namanya
mulai bermunculan di masyarakat terpencil tersebut. Lambat laun, masyarakat
tersebut sudah berubah citranya secara fundamental sebagai masyarakat adat
dengan kearifan lokalnya menjadi masyarakat ’pinggiran’ berwajah metropolitan
dengan segenap perubahan yang ada. Sayangnya, yang diuntungkan dalam kondisi
masyarakat yang demikian ternyata tidak merata. Bahkan hampir sebagian besar
masyarakat tetap menjadi ’penonton’ dalam perubahan struktur maupun kultur yang
terjadi. Dalam kondisi yang demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Membiarkan
berada dalam situasi ketidakmenentuan, sehingga masyarakat adat kian
tersisihkan atau tergerus oleh kepentingan ekonomis-pragmatis atau ikut serta
terlibat merancang sebuah strategi perubahan sosial agar perubahan masyarakat
tersebut dapat direncanakan?
B. Perubahan Sosial: awal dari
rekayasas social Prolog ini merupakan catatan awal untuk memberikan suatu
preskripsi bahwa perubahan sosial merupakan keniscayaan yang menimpa suatu
masyarakat, seberapapun dia tersisolasi. Persoalannya bagaimana perubahan
sosial tersebut dirancang dengan perencanaan, sehingga yang muncul dalam
masyarakat yang berada dalam order (tatanannya); meskipun didalamnay
berkelindan berbagai perubahan. Artinya; tiada masyarakat yang dapat steril
dari perubahan sosial. Justru perubahan sosial memberikan suatu bukti
terjadinya dinamika di dalam masyarakat tersebut. Tanpa perubahan sosial,
masyarakat tersebut adalah masyarakat yang ’mati’, stagnan, tanpa dinamika. Terdapat
dua (2) bentuk perubahan sosial. Pertama, perubahan sosial yang tidak terencana
(unplanned social change). Perubahan social yang terjadi terus menerus yang
terjadi secara perlahan yang tanpa direncanakan yang biasanya diakibatkan oleh
teknologi dan globalisasi. Perubahan dalam contoh di atas adalah salah satu bentuk
adanya perubahan yang tidak disadari dengan hadirnya kebudayaan materiil, yakni
televise. Kedua, perubahan social yang terencana (planned social change); yakni
sebuah perubahan social yang didesain serta ditetapkan strategi dan tujuannya.
Nah, dalam kasus perubahan social di desa adapt tersebut di atas juga terjadi
akibat sebuah desain matang (rekayasa social) dari Negara, misalnya melalui
proyek modernisasi yang berbalut ideologi pembangunanisme (developmentalisme). Lalu
apa sesungguhnya perubahan social tersebut. Perubahan social adalah proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Sementara
Suparlan, menegaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur
sosial dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup; sistem status,
hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan, serta
persebaran penduduk. Selain itu terdapat tiga (3) unsur penting perubahan
sosial, yakni (1) sumber yang menjadi tenaga pendorong perubahan, (2) proses perubahan,
dan (3) akibat atau konsekuensi perubahan itu. Menurut Jalaluddin Rahmat, ada
beberapa penyebab terjadinya perubahan sosial. (1) bahwa masyarakat berubaha
karena ideas; pandangan hidup, pandangan dunia dan nilai-nilai. Max Weber
adalah salah satu tokoh yang percaya bahwa ideas merupakan penyebab utama
terjadinya perubahan sosial. Hal ini dia perlihatkan dalam menganalisis
perubahan sosial dalam masyarakat Eropa dengan semangat etik protestanismenya
sehingga memunculkan spirit kapitalisme. Diakui oleh Weber bahwa ideologi
ternyata berpengaruh bagi perkembangan dalam masyarakat. (2) yang mempengaruhi
terjadinya perubahan dalam masyarakat juga terjadi dengan adanya tokoh-tokoh
besar (the great individuals) yang seringkali disebut sebagai heroes (pahlawan),
dan (3) perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan
sosial). Yakni sebuah gerakan yang digalang sebagai aksi sosial, utamanya oleh
LSM/NGO, yayasan, organisasi sosial, dsb serta Lebih lanjut Kang Jalal,
menyebut bahwa dalam perubahan sosial dibutuhkan berbagai strategi yang
selayaknya dilakukan melalui berbagai cara, tergantung analisis situasi atas
problem sosial yang ada. (1) strategi normative-reeducative
(normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang
berarti atuiran-aturan yang berlaku dalam masyarakat. Norma tersebut
termasyarakatkan lewat education, sehingga strategi normatif digandengkan
denagn upaya reeducation (pendidikan ulan) untuk menanamkan dan mengganti
paradigma berpikir masyarakat lama dengan yang baru. Cara atau taktik yang
dilakukan adalah dengan mendidik, bukan sekedar mengubah perilaku yang tampak
melainkan juga mengubah keyakinan dan nilai sasaran perubahan, (2) persuasive
strategy (strategi persuasif). Strategi perubahan yang dilakukan melalui
penggalangan opini dan pandangan masyarakat yang utamanya dilakukan melalui
media massa dan propaganda. Cara yang dilakukan adalah dengan membujuk atau
mempengaruhi lewat suatu bentuk propaganda ide atau hegemoni ide.(3) perubahan
sosial terjadi karena revolusi atau people’s power. Revolusi dianggap sebagai
puncak (jalan terakhir) dari semua bentuk perubahan sosial, karena ia menyentuh
segenap sudut dan dimensi sosial, dan mengudang gejolak dan emosional dari
semua orang yang terlibat di dalamnya.
C. Rekayasa sosial: gagasan
konseptual Berangkat dari realitas bahwa perubahan sosial tidak dapat dicegah
sebagai sebuah keniscayaan sejarah, baik direncanakan maupun tidak
direncanakan, tulisan ini berupaya lebih dilokalisir untuk mewacanakan
perubahan sosial dengan perencanaan atau desain perubahan sosial. Istilah populernya
adalah rekayasa sosial.
Istilah "rekayasa sosial
(social engineering)" seringkali dipandang negatif karena lebih banyak
digunakan untuk menunjuk perilaku yang manipulatif. Padahal, secara konseptual,
istilah "rekayasa sosial" adalah suatu konsep yang netral yang
mengandung makna upaya mendesain suatu perubahan sosial sehingga efek yang
diperoleh dari perubahan tersebut dapat diarahkan dan diantisipasi. Konsep
rekayasa sosial, dengan demikian, menunjuk pada suatu upaya mendesain atau
mengkondisikan terjadinya perubahan struktur dan kultur masyarakat secara
terencana. Rekayasa sosial (social engineering) adalah salah satu cara yang
bisa dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang bersih, kuat, disiplin dan
berbudaya. Dalam prinsip berpikir sistem, perubahan yang signifikan hanya dapat
dilakukan oleh individu dan masyarakat itu sendiri, bukan menunggu peran
struktur saja. Untuk membentuk struktur yang kuat, diperlukan elemen kebaruan
(emergent properties) yang lahir dari individu dan komunitas yang sadar/belajar
secara terus menerus (the lifelong learner). Komunitas ini dapat dirancang
dengan menggunakan pendekatan dan penerapan beberapa prinsip organisasi
pembelajaran (learning organisation) dan berpikir sistem (system thinking) yang
dirajut dan dikonstruksi dalam konsep dan metode pembelajaran primer.
C.
Dari Problem Sosial, Unsur-Unsur
Sosial hingga Aksi Sosial
Pada dasarnya
rekayasa sosial hanya dapat diselenggarakan kepada masyarakat yang didalamnya
terdapat sejumlah problem (sosial). Problem-problem sosial tersebut memberikan
dampak bagi perjalanan panjang (dinamika) dalam masyarakat. Tapa ada problem
sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial. Artinya,
problem sosial menjadi faktor utama untuk segera diatas dalam melakukan
rekayasa sosial. Problem sosial biasanya muncul akibat terjadinya kesenjangan
antara apa yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen) dengan kondisi
yang sebenarnya terjadi (das sein). Misalnya; awalnya masyarakat berharap agar
arus lalu lintas di Metropolitan Surabaya berjalan aman, tertib dan lancar.
Semua pengguna jalan raya berjalan dengan mentaati aturan yang berlaku, ada
atau tidak ada petuga. Sayangnya, apa yang diinginkan oleh masyarakat bertolak
belakang dengan realitas yang terjadi. Betapa banyak pelanggaran lalu lintas
terjadi akibat ketidaktaatan mereka pada peraturan. Akibatnya terjadi perbedaan
antara yang ideal dengan realitas. Kesenjangan tersebut merupakan suatu problem
sosial yang mesti segera di atasi. Itulah sebabnya, dibuatlah sebuah skenario
(strategi) sebagai bagian rekayasa sosial melalui kampanye safety riding.
Dengan
demikian, dalam melakukan rekayasa sosial, analisis atas situasi (problem
sosial) dalam masyarakat tidak boleh ditinggalkan. Sebab, bisa jadi tanpa
analisis situasi ini sebuah rekayasa sosial akan mengalami kegagalan. Ibarat
sebuah adagium salah di tingkat hulu akan berakhir fatal di tingkat hilir.
Salah dalam membaca sebab musabab sehingga terlahir problem sosial akan
berakibat kesalahan dalam menentukan rekayasa sosial yang dijalankannya. Tanpa
pembicaraan mengenai problem sosial ini, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk
menyelesaikan problem sosial, kita mungkin malah menambah panjang munculnya
problem sosial baru.
Dalam
melakukan pemecahan atas problem sosial ada kalanya memang dituntut aksi sosial
(aksi kolektif) yakni tindakan kolektif (bersama) untuk mengatasi problem
sosial, sehingga perubahan sosial bisa digerakkan bersama sesuai dengan
keinginan bersama.
Philip Kotler, memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
Philip Kotler, memberikan gambaran unsur-unsur sosial dan aksi sosial yang dapat dilakukan dalam melakukan rekayasa sosial; (1) cause (sebab), yakni upaya atau tujuan sosial –yang dipercayai oleh pelaku perubahan- dapat memberikan jawaban pada problem sosial, (2) change agency (pelaku perubahan), yakni organisasi yang misi utamanya memajukan sebab sosial, (3) Change target (sasaran perubahan); individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan, (4) Channel (saluran); media untuk menyampaikan pengaruh dan dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan, dan (5) Change strategy (strategi perubahan); teknik utama untuk mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
Sebagai
catatan tambahan, dalam melakukan rekayasa sosial –hal lazim yang marak
digunakan oleh LSM/NGO atau organisasi sosial- adalah melakukan analisis
situasi dengan pendekatan analisis SWOT; yakni Streght (kekuatan), Weakness
(kelemahan), Oppurtunity (peluang) dan Treath (ancaman). Analisis ini dilakukan
untuk mengukur seberapa besar kemampuan atau potensi kita dalam melakukan
rekayasa sosial. Melalui analisa ini, minimal kita dapat menentukan
bentuk-bentuk rekayasa sosial yang hendak dijalankan. Namun demikian, ada
berbagai pendekatan dalam melakukan rekayasa sosial –tergantung dari- gaya dan
prototipe masing-masing pelaku perubahan sosial sekaligus masyarakat yang akan dirancang
perubahan sosialnya.
E. Epilog
Namun demikian
dalam melakukan rekayasa sosial harus dihindarkan berbagai bentuk kesalahan
(asumsi) yang kemudian disebut sebagai kesesatan berpikir (fallacy). Artinya,
harus dicermati dan diwaspadai juga, bahwa dalam masyarakat yang hendak
dirancang rekayasa sosialnya (misal korban) masih mengendapnya berbagai bentuk
pola pikir yang dapat mengganggu jalannya rekayasa sosial. Misalnya, fallacy of
dramatic instance (kecenderungan untuk melakukan over generalisasi), fallacy of
Retrospektif Determinisme (kecenderungan yang menganggap bahwa masalah sosial
yang terjadi sebagai sesuatu yang secara historis memang selalu ada, tidak bisa
dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang), argumentum ad
populum (kecenderungan untuk menganggap bahwa pendapat kebanyakan masyarakat
sebagai kebenaran), dsb.
Rekayasa
sosial akan mendapat tantangan bisa jadi bukan berasal dari pihak luar atau
kelompok sosial di luar, tetapi justru dalam masyarakat yang hendak dirancang
perubahan sosial; masyarakat yang menjadi korban dari kelompok kepentingan.
Dus, tanpa perencanaan yang matang bisa jadi bukan keberhasilan yang diperoleh
justru kitalah menjadi penyebab kian melembaganya problem sosial.
v
PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
Paradigma
pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik,
dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh
Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon
(1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).
Sementara Khun
sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas
pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang
berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam
tiga pengertian paradigma.
a. Paradigma metafisik yang mengacu
pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi yang mengacu
pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara
umum.
c. Paradigma Konstrak sebagai
sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya
paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan
George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya
menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk
melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial
ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
A.
Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya
makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan
teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga
teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan
teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak
bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata
lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial,
Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi
pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis)
dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas
(kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas
adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran
dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule).
Cara dan ciri
pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische
Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan
merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi
modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut
bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus
melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok
Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh
Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno
(musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich
Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal
(sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger
yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya
Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh
program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto
yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel
tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und
KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh
utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund
Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan
oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan
teori komunikasinya.
Diungkapkan
Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1) Teori
Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
2) Positivisme
dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial- humaniora katakanlah kritik epistimologi.
3) Teori-
teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
4) Kritik
terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar
instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
5) Kritik
kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab
Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir
dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir
empiris-historis
3. Berpikir dalam
kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir
dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.
Teori Kritis
berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel
Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1.
Kritik dalam pengertian Kantian.
Immanuel Kant
melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada
persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan
“condition of possibility” bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa
kitik Kant terhadap epistemologi tentang (kapasitas rasio dalam persoalan
pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan
dapat menjadi ‘pengadilan tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik
dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji
kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2.
Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam
makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut
Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas
suatu teori. Menurut Hegel pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam
upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak
dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya
Spinoza Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is
rational. Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai
proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme
bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah
ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas
tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam
sejarah manusia.
3.
Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx,
konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik.
Dialektika Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang
berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika
adalah kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari
kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx
sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan
oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti
usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan
oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab
frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis
psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan
masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis
psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong
oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam
dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas
pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan
terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat pengertian kritis di atas,
teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif
prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang
teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
a. bersifat
kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. berfikir
secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c. tidak
memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata
untuk mendapatkan hasil yang obyektif.
B.
Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan
Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari
paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial
yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap
struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan,
peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional
terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.
Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo
dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan :
setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic
Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara
konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan-
Perubahan tidak selalu gradual; namun juga revolusioner- Dalam jangka panjang
sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious
circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument
perubahan.
4.
Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari
kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik terse but melahirkan upaya membangun sintesis
keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang manusia
sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk
melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.
C. Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga
paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru.
Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah
dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma
pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa
manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk
menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis
dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada
kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma
kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau pembacaan
terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
a.
Analisis struktural: membaca format politik,
format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk menelusuri nalar dan
mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang hegeminik,
dominatif, dan eksploitatif.
b.
Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel
ekonomi politikbaik pada level nasional maupun internasional.
c.
Analisis kritis yang membongkar “the dominant
ideology” baik itu berakar pada agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat.
Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan pola-pola
eksklusi antar wacana.
d.
Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran
palsu di masyarakat.
e.
Analisis kesejarahan yang menelusuri
dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah
baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu
masyarakat.
C.
Kritis dan Transformatif
Dalam memilih
paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya,
antara lain :
Secara
Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori
imperatif paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung
interperatif. Dan model kritis menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan
(subjet matter) seorang harus mempunyai maksud dan keinginan para pelaku yang
diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial mereka. Untuk
melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua,
Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara
membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam
bahasanya Paulo freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model
berfikir kritis merupakan model yang menuntut bahwa para praktikusnya berusaha
untuk menemukan kaidah kuasi-kausal darn fungsional tentang tingkah laku sosial
dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori
kritis bagaian dari ilmu-ilmu soaial yang dapat digunakan untuk mengeksplor
tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial
yang berkembang.
Model berfikir
paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan
praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini
mempertalikan pendirian pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan
manusia.
Secara
Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII, pertama; masyarakat
indonesia adalah masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari suku,,agama, ras
(etnis) dan tradisi, kultur maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang
menyimpan kekayaan akan konflik yang luar biasa. Disi lain ternya pluralitas
terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara komunitas satu
dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat
digunakannya paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang
sama (toward open and equal society) bagi setiap individu maupun kelompok
masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan kreativitasnya secara maksimal
melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa sederhananya
“memanusiakan manusia”.
Kedua,
masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme
modern yang dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya
suatu perubahan (hanyalah meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak
melakukannya maka dia akan ditinggalkan dan dipinggirkannya oleh perkembangan
jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan memandulkan kesadaran rakyat
untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam istilah Mark,
bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari
diri dan lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan
untuk diterapkan.
Ketiga, selama
pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara
hegemonik-militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat –atau dalam
bahasa Habermas, public sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat
dihinggapi budaya bisu dalam berkreasi, berinovasi, maupun melakukan
pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan kekuatan pemberontakan
atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara apapun
demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini
maka perlu untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi
rakyatIndonesia sebagai artikulasi sikap kritik dan pemberontak terhadap negara
yang totaliter – hegemonik. Untuk melakukan upaya empowerment, enforcemen
(penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara melalui
paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar
rakyat dan negara mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat,
menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan
paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan
sosial (sicial harmony), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar
tidak mengusik ketenangan semu mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan
dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-kemari tanpa memberikan kebebasan
mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan kemauannya. Untuk
melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu, maka
diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih
kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar
telah terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih
parah lagi ketika terjadi dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan
lagi mana yang dianggap dogma dan mana yang dianggao sebagai pemikiran.
Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang agama menjadi
penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara
disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi
kepentingan politik (kekuasaan) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma
agama, masyarakat menjadi terbius dan tidak mampu untuk melakukan kritik.
Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan fungsi dan ajaran agama.
Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi (pembongkaran)
pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa
agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam
moral forcement dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah
agama akan benar-benar kembali kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga
perdamaian dimuka bumi.
Namun
Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa
yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme
working-sistem yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan
eksploitatif; namun belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap
formasi sosial tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term
Transformatif” melengkapi teori kritis.
Dalam
perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis.
Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang
bertumpu pada agen tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau
petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi
lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan
sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat. Model-model transformasi
yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1.
Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model
tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal
isu advokasi buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang
digusur akibat adanya proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan
kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu
menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak
mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang
dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu,
kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar
sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih
condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2.
Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model
tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian
kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx
terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute
yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.
Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang
paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah
yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap
bangsa atau Negara.
3.
Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk
transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal
ini akan bisa terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa
kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang
dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat
desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan
pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling
mengerti akan kebutuhan, dan yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya
benturan sosial di lapangan.
4.
Transformasi dari Individu ke Massa
Model
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang adanya
hidup bergotong royong.
Rasa egoisme
dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu
jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah
adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power
atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan menuju perubahan
sosial dalam bidang apapun ipoleksosbudhankam).
E. Paradigma
Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII.
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan warga PMII.
PARADIGMA-PARADIGMA
SOSIOLOGI dan ANALISIS SOSIAL
PENGANTAR
Tulisan ini
telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang
teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang
lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi
sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada
awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam
konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas,
tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial
secara umum.
Dalil kami
adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci
paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metateori tentang sifat
dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun
atas pandangan-pandangan yang berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing
pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai
kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan
pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang
ditimbulkan dalam paradigma lainnya.
Sejumlah
analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung
dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu
sosial.
ASUMSI-ASUMSI
DASAR ILMU SOSIAL
Tesis utama
dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada
(atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Fildsafat dan teori ilmu sosial
selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis,
pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu
sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit
maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.
ASUMSI
ONTOLOGIS
Asumsi ini
memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya
dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai
suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran
seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah relaitas
itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang
(subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar
pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.
ASUMSI
EPISTEMOLOGIS
Ini berkaitan
dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu
bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya
sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan
bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang
memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah
itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan
atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya
mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu
yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atau
apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud),
lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan
(transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang
unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah
pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau
sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.
ASUMSI HAKEKAT
MANUSIA
Ini terutama
mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara
jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya
adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita
dapat mengindentifikasi pandangan ilmu sosial, yang mengandung pandangan
manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau
deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamannya
dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar
dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki
peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will),
menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya,
pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang
(marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini kita dapat melihat perdebatan
besar mengenai filsafast antara mereka yang membela “determinisme” dan mereka
yang membela “volunterisme”. Semua ilmu sosial mengacu pada salah satu
pandangan ekstrim ini dan ahli-ahli ilmu sosial tersebar di antara keduanya.
ASUMSI
METODOLOGIS
Anggapan-anggapan
dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan
pengetahuan tentang dunia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis,
dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah
perbedaan metodologis, bahkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun
yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan
kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya
akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai
unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan
hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya
mencari hukuim-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan
kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai
masalah masyarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya
terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di
mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap
orang pada kenyataan yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial.
Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan sosial.
Bagian Asumsi-Asumsi
Dasar ilmu Sosial (Dimensi Subyektif-Obyektif)
PENDEKATAN
SUBYEKTIF PENDEKATAN OBYEKTIF
Nominalisme
Ontologi Realisme
Anti-positivisme
Epistemologi Positivisme
Volunterisme
Hakekat Manusia Determinisme
Ideografis
Metodologi Nomotetis
Nominalisme –
Realisme : Debat Ontologis
Kaum nominalis
beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada
di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label
yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya
kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep
semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, memberi
pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham
konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.
Realisme
beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang,
merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi
yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami
(empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memilii
penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah
(independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan
kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya.
Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
Anti-positivisme
– Positivisme: Debat Epistemologis
Sebutan “kaum
positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan
tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atau
pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan
dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada
olok-olok.
Pendirian
epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang
digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan.
Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui
penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah
dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan
kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang
tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses
kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas
kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.
Pendirian
epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak
menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegaskan tatanan sosial tertentu
terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat
dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa
sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya
kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka
berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta
atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam,
bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan
menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan
tentang apa saja.
Volunterisme –
Determinisme : Debat Hakekat Manusia
Kaum
determinis menganggap bahwea manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar
dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan
berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori
ilmu sosial.
Ideografis –
Nomotetis: Debat Metodologis
Pendekatan
ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial
melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat
dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif
dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan
sehari-hari. Hubungan langsung sedekat mungkin dengan memahami sejarah hidup
dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah
yang diteliti dibiarkan muncul apa adanya.
Pendekatan
nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam
penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian
hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik
kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan
alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.
ANGGAPAN-ANGGAPAN
DASAR MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL
Ada dua
tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih
duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini
mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu
alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial
disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum
positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia
dan nomotetis dalam metodologinya.
Tradisi kedua
adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan
bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera,
tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya
anti-positivis dimana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih
penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan
volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam
analisis sosialnya.
Sejak 70 tahun
terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang
filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran
baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah
ini selain menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran
sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan
mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.
ANGGAPAN-ANGGAPAN
DASAR TENTANG HAKEKAT MANUSIA
Semua
pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir,
pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.
Debat
Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)
Dahrendorf
(1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua
pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan
pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan
masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut
Dawe, yang pertama merupakan teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van
den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser
(1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan
ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.
Cohen (1968),
berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa
corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment),
kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus),
imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration),
ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial
ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility),
ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan
(malintegration) dan perubahan (change).
Bagan Teori Masyarakat:
Bagan Teori Masyarakat:
Ketertiban dan
Pertentangan
KETERTIBAN
PERTENTANGAN
Ketetapan (stability)
Perubahan (change)
Keterpaduan
(integration) Pertentangan (conflict)
Koordinasi
fungsional Pemisahan (disintegration)
Kesepakatan
(consensus) Pemaksaan (coercion)
Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban
dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur
kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.
Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.
Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).
Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.
Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.
Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).
Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.
Banyak
analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak
dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendasar keduanya. Oleh
karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan
radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain
sama sekali yakni: keteraturan (regulation) dan perubahan radikal (radical
change).
KETERATURAN vs
PERUBAHAN RADIKAL
Istilah ini
diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam membedakan corak
ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori
sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan
(cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa
kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengan keinginan menjelaskan
tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan
yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai
masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai
struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk
berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik
fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa
yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari
sekadar kemapanan.
Skema
Keteraturan Perubahan Radikal
Sosiologi
Keteraturan Sosiologi Perubahan Radikal
Kemapanan
Perubahan Radikal
Ketertibah
Sosial Pertentangan Struktural
Kesepakatan Bentuk-bentuk
Penguasaan
Kerapatan dan
Keterpaduan Sosial Saling Pertentangan
Kesetiakawanan
Pemerdekaan
Pemuasaan
Kebutuhan Pemerosotan Harkat Manusia
Hal-hal yang
Wujud Nyata Hal-hal yang Masih Terpendam
DUA DIMENSI,
EMPAT PARADIGMA
Sejak 1960-an
telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam
perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada
awal 1970-an telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai
sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n.
Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur
penting dari perdebatan yang terjadi pada 1960-an dan cara baru dalam
menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah:
humanis, radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.
Paradigma Teori Sosial
Paradigma Teori Sosial
PERUBAHAN
RADIKAL
Humanis
Radikal Strukturalis Radikal
Interpretatif
Fungsionalis
SUBYEKTIF
OBYEKTIF
KETERATURAN
Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.
Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.
Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma
Paradigma
diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang
menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para
penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan
pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara
kerja yang sama dalam batas-batas pengetian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial
telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu
cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda
mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan
meta-teoretis.
Empat
paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu
teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan
teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang
lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial
seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan
terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini
pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari
humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi”
(epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke
interpretatif.
Paradigma
Fungsionalis
Paling banyak
dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan.
Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis.
Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata
(empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan
nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial,
berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan,
berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk
pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk
dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan
mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam
pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.
Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.
Sejak awal
abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti
karya Max Weber, George Simmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis
mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai
pewrsentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai
bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada
1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum
fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah
terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja
secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk
menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu
maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham
fungsionalis. Interaksi antar paradigma digambarkan sebagai berikut :
Pengaruh
Pemikiran yang Membentuk Paradigma Fungsionalis
PERUBAHAN RADIKAL
Teori Marxis
Idealisme
Jerman
SUBYEKTIF
OBYEKTIF
KETERATURAN
Sosiologi positivism
Paradigma
Interpretatif
Kubu ini
sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka
menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan
mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami
kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari
kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang
langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang
mengamati.
Pendekatannya
cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul
karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka
berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia
untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun
demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan
bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan,
kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi
agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum
idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat
hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain
Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma
Humanis Radikal
Para
penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan
subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif
yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda,
yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan
tatanan sosial yang ada.
Pandangan
dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau
dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang
menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi),
atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya
mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya
adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk
tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia.
Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat
sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana
manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola
sosial yang mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian
masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.
Paradigma
Strukturalis Radikal
Penganutnya
juga memperjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang
obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum
fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya
lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan
pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cenderung realis,
positivis, determinis dan nomotetis.
Kesadaran
manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan
struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni
dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara
menyeluruh. Penganut paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih
tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta
hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan
sosial. Sebagian mereka lebih tertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam
suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah
terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain
pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi
radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa
penganut kelompok kiri baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar